CAHAYA CINTA PESANTREN
Penulis :Ira Madan
Genre :Fiksi/Religi
Penerbit :Tinta Medina
Cetakan :Pertama, Juni 2014
Halaman :292 hlm
ISBN :978-602-257-928-1
Genre :Fiksi/Religi
Penerbit :Tinta Medina
Cetakan :Pertama, Juni 2014
Halaman :292 hlm
ISBN :978-602-257-928-1
Adalah
sebuah novel yang berlatar pesantren. Shila, sang tokoh utama digambarkan
sebagai santriwati pondok pesantren Al-Amanah yang pintar (mendekati
genius—katanya sih) namun jahil, bahkan seringkali bertindak semaunya seolah
melegitimasi kenakalannya. Namun meski begitu, ia merupakan sosok gadis yang
taat dan sayang pada keluarga, terutama ayahnya. Kemudian ia bertemu dengan 3
teman santriwati lain, yaitu Icut, Manda, dan Aisyah yang kemudian menjadi
sahabat baik Shila. Tiada hari tanpa keonaran. Mulai dari sering terlambat
datang, mengambil mangga malam-malam hingga curi-curi pandang pada Ustazd yang
difavoritkan. Sebagian besar cerita disini menggambarkan kehidupan ala anak
pesantren putri dengan segala kisah unik, konyol, namun tak jarang terselip
pesan-pesan hikmah.
Novel
ini beralur maju, namun di awal cerita sempat digambarkan Shila sedang
berjalan-jalan di kampung halamannya, Medan, dengan menjelaskan berbagai objek
wisata dan kekhasan tempatnya itu. Kemudian ia bertemu dengan salah satu alumni
di pesantren tempat ia mondok, kemudian deskripsi digambarkan dengan Shila yang
mengenang masa-masa mondoknya dulu di Pesantren Al-Amanah. Setelah itu, cerita
beralur maju, mulai dari Shila mendaftarkan diri di pondok, beradaptasi dengan
penghuni asrama dan lingkungan kelasnya, mengikuti berbagai kegiatan pondok
bersama ke-3 sahabatnya, mendapat kesempatan untuk ke Jepang hingga Shila lulus
dan menikah dengan Ustadz yang selalu ia kagumi. Namun ada kisah tragis di
dalam novel ini yang saya tidak sangka. Ada beberapa tokoh yang meninggal
bahkan konflik sang tokoh utama Shila (menurut saya) terjadi di bagian
akhir-akhir cerita, sehingga novel ini berakhir dengan (agak) sad ending.
Nah,
membaca novel ini saya jadi teringat ceritanya A. Fuadi Negeri 5 Menara karena
memang berlatar sama, yaitu di pondokan, bedanya cerita Cahaya Cinta Pesantren
ini dibawa oleh tokoh perempuan, alias pesantren putri. Saya tidak
membandingkan karya ini dengan novel serupa sebelumnya, namun ada beberapa hal
yang sangat disayangkan. Menurut saya, cerita novel ini kurang mendalam dan
deskripsinya kurang menyentuh. Kemudian, saya tidak menemukan hubungan antara
judul novel dengan isi cerita. Sejauh ini, yang saya pahami dari kata “Cahaya
Cinta” mungkin akhir dari kisah Shila yang akhirnya mendapatkan Ustadz
favoritnya sebagai suami. Hm…entahlah. Dan juga, ada satu hal lagi yang membuat
alis saya berkedut-kedut ketika menamatkan novel ini. Yaitu banyak paragraf
dengan satu “cerita” yang berakhir di satu sub bab. Sehingga dalam satu sub bab
itu dengan cepat diceritakan berbagai kondisi yang kemudian berakhir . Biasanya
jeda semacam ini diberi sebuah tanda misal tiga deretan bintang atau pagar di
novel ini diberi tanda deretan tiga love lalu dilanjut dengan cerita dengan
kondisi yang lain. Illfeelnya saya, banyak paragraf yang bahkan hanya satu
paragraf saja kemudian diakhiri dan diberi jeda. Bahkan juga ada yang hanya
terdiri dari beberapa kalimat saja kemudian diberi jeda. Saya sih tidak
menghitung jumlah jeda (deretan 3 love) nya, tapi yang jelas itu banyak sekali.
Di satu sub bab pun bisa terhitung 3 sampai 4 kali jeda, dengan paragraf yang
pendek-pendek. Saya jadi menganggapnya sebagai kronologi cerita ketimbang
novel. Hmm . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar