Senin, 25 April 2016

REVIEW BUKU


 


CAHAYA CINTA PESANTREN


Penulis             :Ira Madan
Genre              :Fiksi/Religi
Penerbit           :Tinta Medina
Cetakan           :Pertama, Juni 2014
Halaman          :292 hlm
ISBN               :978-602-257-928-1


Adalah sebuah novel yang berlatar pesantren. Shila, sang tokoh utama digambarkan sebagai santriwati pondok pesantren Al-Amanah yang pintar (mendekati genius—katanya sih) namun jahil, bahkan seringkali bertindak semaunya seolah melegitimasi kenakalannya. Namun meski begitu, ia merupakan sosok gadis yang taat dan sayang pada keluarga, terutama ayahnya. Kemudian ia bertemu dengan 3 teman santriwati lain, yaitu Icut, Manda, dan Aisyah yang kemudian menjadi sahabat baik Shila. Tiada hari tanpa keonaran. Mulai dari sering terlambat datang, mengambil mangga malam-malam hingga curi-curi pandang pada Ustazd yang difavoritkan. Sebagian besar cerita disini menggambarkan kehidupan ala anak pesantren putri dengan segala kisah unik, konyol, namun tak jarang terselip pesan-pesan hikmah.

Novel ini beralur maju, namun di awal cerita sempat digambarkan Shila sedang berjalan-jalan di kampung halamannya, Medan, dengan menjelaskan berbagai objek wisata dan kekhasan tempatnya itu. Kemudian ia bertemu dengan salah satu alumni di pesantren tempat ia mondok, kemudian deskripsi digambarkan dengan Shila yang mengenang masa-masa mondoknya dulu di Pesantren Al-Amanah. Setelah itu, cerita beralur maju, mulai dari Shila mendaftarkan diri di pondok, beradaptasi dengan penghuni asrama dan lingkungan kelasnya, mengikuti berbagai kegiatan pondok bersama ke-3 sahabatnya, mendapat kesempatan untuk ke Jepang hingga Shila lulus dan menikah dengan Ustadz yang selalu ia kagumi. Namun ada kisah tragis di dalam novel ini yang saya tidak sangka. Ada beberapa tokoh yang meninggal bahkan konflik sang tokoh utama Shila (menurut saya) terjadi di bagian akhir-akhir cerita, sehingga novel ini berakhir dengan (agak) sad ending.

Nah, membaca novel ini saya jadi teringat ceritanya A. Fuadi Negeri 5 Menara karena memang berlatar sama, yaitu di pondokan, bedanya cerita Cahaya Cinta Pesantren ini dibawa oleh tokoh perempuan, alias pesantren putri. Saya tidak membandingkan karya ini dengan novel serupa sebelumnya, namun ada beberapa hal yang sangat disayangkan. Menurut saya, cerita novel ini kurang mendalam dan deskripsinya kurang menyentuh. Kemudian, saya tidak menemukan hubungan antara judul novel dengan isi cerita. Sejauh ini, yang saya pahami dari kata “Cahaya Cinta” mungkin akhir dari kisah Shila yang akhirnya mendapatkan Ustadz favoritnya sebagai suami. Hm…entahlah. Dan juga, ada satu hal lagi yang membuat alis saya berkedut-kedut ketika menamatkan novel ini. Yaitu banyak paragraf dengan satu “cerita” yang berakhir di satu sub bab. Sehingga dalam satu sub bab itu dengan cepat diceritakan berbagai kondisi yang kemudian berakhir . Biasanya jeda semacam ini diberi sebuah tanda misal tiga deretan bintang atau pagar di novel ini diberi tanda deretan tiga love lalu dilanjut dengan cerita dengan kondisi yang lain. Illfeelnya saya, banyak paragraf yang bahkan hanya satu paragraf saja kemudian diakhiri dan diberi jeda. Bahkan juga ada yang hanya terdiri dari beberapa kalimat saja kemudian diberi jeda. Saya sih tidak menghitung jumlah jeda (deretan 3 love) nya, tapi yang jelas itu banyak sekali. Di satu sub bab pun bisa terhitung 3 sampai 4 kali jeda, dengan paragraf yang pendek-pendek. Saya jadi menganggapnya sebagai kronologi cerita ketimbang novel. Hmm . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar